Sabtu, 26 Januari 2013

Nikah Lalu Cerai Bolehkah? oleh F harefa




MENIKAH LALU BERCERAI, BOLEHKAH?

Oleh: Fa’ahakhododo Harefa



“Bolehkah orang Kristen kawin dengan orang yang sudah resmi cerai?




Perceraian sudah merupakan hal yang dianggap lajim dewasa ini, sehingga apabila hal itu menimpa keluarga anak-anak Tuhan, dan bahkan keluarga pendeta sekalipun, sudah tidak lagi mengejutkan. Seribu satu macam alasan pun dapat disebut sebagai penyebab perceraian, seakan-akan memang sudah tidak ada lagi pilihan, kecuali cerai! Hukum di negara tercinta ini yang mensyahkan perceraian memberikan legitimasi kepada mereka yang cerai, sebagai perbuatan yang benar.

Bagaimana kehendak Tuhan Allah sendiri tentang perceraian? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang apa yang tertulis di Alkitab tentang pernikahan?

Inisiatif Tuhan Allah                                                                                                         

Prinsip pertama dalam pernikahan yang musti diamini oleh setiap orang Kristen adalah bahwa pernikahan itu merupakan inisiatif Allah sendiri. Bukan inisiatif orang tua yang menjodohkan anaknya, juga bukan pula inisiatif diri sendiri yang mau menikah. Artinya, Allah yang menentukan dan menabiskan pernikahan menjadi lembaga ilahi.

Inisiatif Tuhan Allah tersebut dengan jelas tertulis: ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya....” (Kej 2:18). Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tertidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu (Kej 2:21-22).

Pertanyaannya, bagaimana mengetahui bahwa kebersatuan dua sejoli yang sudah saling mencintai dan bahkan sudah berjanji akan hidup semati sesungguhnya Tuhanlah yang mempersatukan mereka? Di sinilah salah satu akar persoalan sebuah keluarga.  Budaya atau adat istiadat tidak sepenuhnya merujuk pada prinsip Firman Allah ini. Pada jaman dulu, kita kenal perjodohan. Pada budaya tertentu, pernikahan lebih diutamakan pada tujuannya, yakni memiliki anak laki-laki; bukan pada proses pembentukan keluarga itu sendiri. Pada jaman ini dimana, kebebasan personal dilegitimasi sebagai hak azasi pribadi, sehingga dalam menentukan calon pasangan hidup pun seakan-akan juga merupakan hak azasi pula. Saking sebagai hak azasi, Tuhan pun nga boleh ikut campur. Agama boleh agama Kristen, tetapi nilai-nilai yang diyakini tentang seputar kehidupan berkeluarga belum tentu senada dengan Firman Allah. Perhatikanlah syair berikut ini.


Mulanya biasa saja. Lama-lama tertarik juga
Aku suka kamu……………….
Awalnya figur yang kupandang biasa,eh… lama-lama mempesona
Jantung pun tak tinggal diam, ketika berdekatan: “deg-degan…”
Sentuhan, seakan terkena setrum, ”struuuuuuut!”
Untung tak dapat ditolak, bagaikan tamu yang tak diundang
benih rindu berkecambah begitu saja,
bertumbuh dan makin membesar.
  
Langit pun terasa cerah, meski  hujan deras, hari kelam.
Bulan serasa terus tersenyum tersungging, walau nga punya mulut dan mata.
Kicauan burung seakan sebuah kidung, bersenandung ria tentang asa.
Memandang langit-langit, seakan kau terlukis di sana.

Itukah cinta?
Entahlah!
Sang pria pun mulai sibuk berdoa, ” Tuhan, benarkah dia tulang rusukku?”
Tak kalah gencar doa sang kekasih: ”Tuhan, diakah imamku?”

Mulanya biasa saja, akhirnya jadi juga.
Dua sejoli dimabuk asmara, berjanji setia, sehidup semati.
Sang pria pun bersenandung: ”Aku hidup hanya untukmu”
Sang wanita membalas: ”Aku pun hidup hanya untukmu”
”Aku tak dapat hidup tanpa kau di sisiku”

Keduanya pun menikah....

Kisah di atas merupakan hal yang lajim dialami oleh yang lagi dimabuk asmara, bukan? Nah, pertanyaan yang prinsip adalah jika prosesnya demikian, ”Apakah pernikahan dua sejoli tersebut merupakan inisiatif Tuhan Allah?

Inilah yang susah dijawab. Jawabannya dapat ”ya” dan bisa juga ”bukan”. Artikel singkat ini hanya mau mengatakan bahwa begitu sulitnya mengetahui inisiatif Tuhan Allah yang terjadi dalam proses orang Kristen menikah. Oleh sebab itu, tidaklah mengejutkan, jika keluarga Kristen, bahkan keluarga pelayanan Tuhan (pendeta, penginjil, penatua dan lain-lain), tidak ada ubahnya seperti keluarga yang belum percaya kepada Tuhan Yesus, yang juga rawan terhadap perceraian. 

Adakah contoh di dalam alkitab tentang pernikahan yang bukan inisiatif Allah? ”Ada..!” Salah satu contoh yang sangat baik adalah Abraham. Pernikahannya dengan Hagar, jelas bukan inisiatif Tuhan Allah melainkan inisiatif Sarah yang kepengen buanget memiliki keturunan. Tapi, apa yang terjadi di kemudian hari? Alkitab mencatat: ”Perceraian!”.  Hagar diceraikan oleh Abraham, walaupun akhirnya rujuk kembali, tetapi keluarga Abraham hidup dalam kepahitan dan dalam ketidakharmonisan.

Contoh lainnya adalah anak-anak Elimelekh yang kawin dengan perempuan Moab. Padahal dalam Hukum Taurat dengan jelas mengingatkan untuk tidak kawin-mengawinkan dengan orang-orang Kanaan, termasuk orang Moab. Hasilnya? Selain Elimelekh, kedua anak laki-lakinya mati di Tanah Moab. Naomi pulang dengan hampa tangan ke negara asalnya, Israel. Artinya, pernikahan yang salah dapat menyebabkan kemiskinan.

Contoh lainnya yang tidak kalah menarik adalah pernikahan Musa yang pertama dengan wanita Mesopotamia. Di tengah jalan menuju Mesir dalam rangka memenuhi panggilan Tuhan, Musa hampir dibunuh oleh Tuhan sendiri. Istri dan anaknya kemudian balik ke Mesopotamia, sementara Musa melanjutkan perjalanan ke Mesir. Dalam kasus Musa, yang terjadi memang bukan perceraian. Tetapi, bahwa Tuhan tidak berkenan sang isteri turut serta ke Mesir, bertentangan dengan konsep pernikahan ”menjadi satu daging”. Gersom, anak sulungnya Musa, tidak pernah dicatat dalam Alkitab sebagai salah seorang dari imam.

Jika suatu pernikahan bukan merupakan inisiatif Tuhan Allah, maka benih keperbedaan, keretakan dan ketidak-akuran sudah tertanam. Suatu ketika, ketidak-akuran itu berbungakan kemarahan, kebencian dan kepahatian; dan akhirnya bisa berbuahkan perceraian.

Bahkan, yang membuat saya lebih terperangah adalah hasil kajian saya terhadap banyak pasangan, baik yang masih pacaran maupun yang sudah menikah, dimana saya temukan hubungan signifikan antara tipe kepribadian dengan daya tarik. Seseorang berkepribadian tertentu cenderung hanya tertarik (terhadap lawan jenis) terhadap tipe kepribadian tertentu pula.. Kalau sudah begini, apakah doa hanya merupakan permohonan perestuan dari Sang Khalik? Ketemu dahulu baru berdoa, seperti kisah di puisi di atas?

Mengapa Cerai?

Katakanlah telah menikah atas dasar inisiatif Tuhan Allah. Apakah sudah cukup? Tentu tidak!.

Prinsip yang kedua yang harus diamini oleh anak-anak Allah adalah mengamini Firman Allah, bahwa apa yang disatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Firman Allah ini tidak lagi hanya tertulis di Alkitab, tetapi harus tertulis di dalam loh hati, sebagai sebuah keyakinan. Sebab ada tertulis, bahwa apa yang kita imani, itulah yang terjadi! According to your faith will it be done.

Jadi, kalau kita imani bahwa tidak ada perceraian, maka tidak akan bercerai. Sedikit celah keraguan, sebaimana pengalaman Hawa tentang buah pohon di tengah-tengah Taman Eden, sudah cukup bagi iblis untuk mengacak-acak sebuah kehidupan keluarga Kristen.

Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, perceraian merupakan peristiwa yang diharapkan oleh iblis. Jika manusia cerai hubungannya dengan Tuhannya, maka perceraian dengan sang pasangan bukan lagi hal yang tidak mungkin. Sebab, Sang Pemersatu sudah disingkirkan dalam relasi hubungan suami isteri. Inilah fenomena yang terjadi di Taman Eden, ketika manusia jatuh dalam dosa.

Perceraian tidak selalu dalam bentuk fisik cerai, yang ditandai dengan legitimasi dari pemerintah. Begitu banyak pasangan yang masih bersatu, dalam artian masih serumah dan secara sosial dikategorikan sebagai pasangan suami isteri, tetapi sesungguhnya sudah ada ”perceraian” emosi antara keduanya. Ini pun sudah merupakan perceraian.

Sebagaimana Firman Tuhan ingatkan, bahwa sang iblis selalu berusaha mencari kesempatan untuk menjatuhkan anak-anak Tuhan. Sasaran utamanya bukanlah personal tetapi keluarga Kristen, terlebih kepada keluarga Kristen yang hidup taat kepada Tuhan. Karena itu, apapun alasannya bercerai, pada dasarnya hanya ada tiga jurus yang digunakan oleh iblis dalam memperdayai suami atau istri sehingga mengikuti kemauannya. Ketiga cara tersebut ialah:
(1)  mengeksploitir keinganan daging,
(2)  mengeksploitir keangkuhan hidup, dan
(3)  mengeksploitir keinginan mata

(1) Mengeksploitir keinginan Daging

Ia dapat menggunakan salah satu cara, dua cara sekaligus atau tiga cara sekaligus. Pada kasus pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun, iblis terlebih dahulu menggunakan cara yang pertama, berkenaan dengan kebutuhan fisik (makan). Setelah cara tersebut gagal, lalu ia mengggunakan cara yang kedua, eksploitasi keangkuhan hidup. Iblis berkata, ”jatuhkanlah dirimu maka ada tertulis para malaekat akan menatang Engkau”. Betapa hebatnya, Tuhan Yesus, apabila ia melakukan sebagaimana ajakan iblis. Setiap orang yang melihat pasti kagum dan memberikan aplaus yang luar biasa. Tuhan Yesus pasti digelari ”superman” dan dieluk-elukan.

Setelah dua cara terdahulu gagal, iblis menggunakan cara ketiga, eksploitasi keinginan mata. Berkatalah iblis: ” semua kerajaan dunia dan kemegahannya akan kuberikan kepadamu....”.

Cara yang sama, dan bahkan dengan urutan strategi yang sama pula, iblis menghancurkan hubungan suami isteri: Adam dan Hawa. Pertama-tama, iblis bicara tentang hal makan dengan trik komunikasi yang sering digunakan oleh para salesman profesional dalam membujuk calon buyer mereka. Kata iblis: ”Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?”

Reaksi Hawa sudah dapat diduga, karena memang bukan demikianlah Firman Allah. Tetapi, bahwa trik iblis menghujani pikiran Hawa tentang hal permakanan berhasil, maka Hawa telah masuk perangkap pertama.

Iblis pun melanjutkan dengan perangkap kedua, eksploitasi keangkuhan hidup. Kata kuncinya, iblis berkata: ”..., dan kamu akan menjadi seperti Allah...”.  Perangkap ini pun berhasil, dan bahkan sedemikian berhasil, sehingga cara ketiga pun, iblis tidak perlu membujuk Hawa untuk melakukannya. ”Hawa pun melihat buah pohon di tengah-tengah taman Eden itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.”  

Cara yang sama pulalah sepanjang jaman iblis menghancurkan setiap keluarga, tak terkecuali keluarga Kristen. Bahkan keluarga Kristen yang makin mendekatkan diri kepada Tuhan, justru makin gencar dicobai oleh iblis. Sebab, ia tidak rela setiap keluarga Kristen hidup berkenan kepada Allah. Karena itu, bukanlah hal yang mengherankan, jika seseorang yang dinilai memiliki ”tingkat rohani” yang tinggi tetapi justru jatuh dalam dosa. Ada contoh kisah yang baik tentang hal ini di dalam Alkitab, yakni Nuh. Kurang hebat apakah perilaku Nuh hidup berkenan kepada Allah? Tuhan ngobrol langsung kapada Nuh untuk memberitahu secara detail apa yang musti dilakukan Nuh; dan hanya Nuh dan keluarganya yang diselamatkan!

Tetapi, apa yang terjadi kemudian setelah peristiwa air bah? Nuh terpelosok dalam hal keinginan daging. Dalam hal ini adalah dalam aspek seksualitas. Alkitab hanya mencapai bahwa Nuh mabuk dan telanjang bulat. Kemarahannya kepada anak-anaknya, khususnya Sem, menunjukkan perilaku Nuh yang lebih dari sekedar telanjang.

Jadi, dalam hal keinginan daging, paling tidak ada dua aspek yang merupakan sasaran empuk iblis untuk menjatuhkan, yakni permakanan dan perseksan.

Dari berbagai pemberitaan mengukuhkan bahwa penyebab utama perceraian di Indonesia dewasa ini adalah karena alasan ekonomi dan perselingkuhan. Sang suami dinilai oleh isteri tidak mampu memberikan nafkah lahiriah, maka jadilah cerai. Dari sinilah saya akhirnya yakin, bahwa kemiskinan itu bukan karya-Nya Tuhan Yesus, tetapi mau iblis agar ia mudah menghancurkan keluarga Kristen. Keluarga Kristen yang benar adalah pastilah keluarga sejahtera.

Alasan utama kedua adalah karena perselingkuhan. Begitu banyak cerita tentang tokoh Alkitab yang terjerabab masalah ini. Pertama, yakni Raja Daud yang berselingkuh dengan Betseba. Kedua, Raja salomo sendiri yang memiliki 700 istri dan gundik. Ketiga, Ruben, anak Yakub, yang berselingkuh dengan ibu tirinya. Semua berakhir dengan kisah sedih. Salomo yang begitu luar biasa hikmatnya pun, pada hari tuanya ia lebih condong hatinya kepada para isterinya dari pada hidup berkenan kepada Tuhan Allah, dan akhirnya ia mabuk-mabukan. Kisah Nuh sendiri langsung berhenti, tidak ada lagi karya Allah yang dinyatakan di dalam hidupnya setelah peristiwa ia telanjang. Kisah tentang Nuh yang berikutnya adalah hanya mengisahkan kematiannya.  

(2) Mengeksploitir Keangkuhan Hidup

Bagaimana dengan keangkuhan hidup?  Dari banyak referensi menyebutkan bahwa penyebab utama perceraian adalah karena masalah komunikasi atau komunikasi yang buruk antara suami istri Neil Clark Warren, 1996:112; Collins, 1988:19; dan Joseph Tan, 1997:58). Tetapi dari pengalaman saya melakukan psikotes dan konseling terhadap ribuan orang, saya menemukan bahwa komunikasi yang buruk  merupakan buah dari kepribadian yang buruk.

Dalam terminologi pembagian tipe kepribadian menurut Socrates, dan belakangan dihidupkan kembali teori tersebut oleh Littauer dalam bukunya Kepribadian Plus, saya menemukan bahwa umumnya pribadi yang bermasalah adalah pribadi yang condong sangat kuat pada salah tipe kepribadian, entah itu sanguinis, koleris, melankolis atau plegmatis.  Kelompok orang macam ini secara visual terlihat normal, dan dari termonologi psikologi memang normal. Ciri khas sifat tipe kepribadian macam ini adalah selfishme, mau menang sendiri, tidak mau atau tidak mudah mengalah, sikap toleransi yang rendah, dan umumnya memiliki pengalaman traumatis. Maksudnya traumatis adalah ada pengalaman perlakuan buruk orang lain terhadap diri yang bersangkutan sebelumnya yang terbawa dan tersimpan rapih dalam benak orang itu, dan kemudian mempengaruhi perilaku. Antara lain dalam bentuk regresif, agresif, paranoid (kecurigaan berlebihan), self defence berlebihan atau sikap ingin dibelaskasihani berlebihan.  Apa pun traits dari kepribadian yang buruk ini akarnya adalah keangkuhan hidup. Tidak mau mengalah atau mau menang sendiri merupakan fenomena perilaku yang umum yang mencerminkan keangkuhan hidup. Jika dinasehati malah tersinggung.

Padahal tidak satu pun manusia tanpa kelemahan. Tetapi oleh kerendahan hati sehingga ada kerelaan mau diajar, mau dibentuk oleh Tuhan sekalipun dengan cara yang perih, maka kelemahan pastilah dapat berubah menjadi sebuah kekuatan yang memuliakan nama Tuhan.

Yusuf di Mesir menjadi berhasil karena paham betul rahasia hidup yang satu ini. Ia tidak pernah membela diri. Ia tidak memberontak, ia tidak marah dan ia juga tidak dendam. Ia tidak membangun ”tameng” diri untuk menutupi kelemahannya. Belakangan, ia malah mensyukuri segala kepahitan yang ia alami sebagai cara Tuhan menyiapkan dirinya menjadi orang besar. Tetapi, jangan ditanya kepahitan yang pernah dialami oleh Yusuf di rumah Potifar. Saya yakin tidak ada satu pun diantara pembaca artikel ini yang pernah dikejar-kejar dalam keadaan telanjang dan sambil diteriakin, ”ia mau memperkosa saya”. Bagaimana malunya Yusuf pada waktu itu.

Fenomena yang umum dalam proses perceraian, dari segi dinamika relasi, adalah awalnya tidak ada yang mau saling mengalah, sebaliknya maunya ngatur dan menuntut sang pasangan berbuat sesuatu untuk dirinya dari pada ia mau rela berbuat (=melayani) untuk sang pasangan. Maka terjadilah pertengkaran. Di dalam pertengkaran terseliplah kata-kata saling merendahkan, saling mengungkit kejelekan /kelemahan, dan kata-kata penghinaan. Rasa kepahitan di hati dan dendam pun bersemayam di hati. Dari hari ke hari dendam alias amarah terpendam terus berkembang. Jika faktor lain turut mendukung seperti masalah ekonomi, affair dengan orang lain dan lain-lain; maka masalah perceraian tinggal hitungan waktu.

Melakukan Peran
Alkitab dengan tegas membagi peran antara suami dan istri. Peran suami adalah sebagai kepala keluarga, artinya suamilah yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan seluruh anggota keluarga, baik kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani. Sebaliknya istri berperan sebagai penolong.

Pembalikan peran atau salah satu pihak tidak melakukan peran sebagaimana diamanatkan oleh Firman Allah akan menjadi benih pertengkaran yang dapat berujung kepada perceraian. Banyak alasan para pasangan tidak melakukan peran masing-masing sebagaimana mustinya, tetapi justru orang yang kita cap bukan Kristen malahan melakukan prinsip Firman Tuhan tentang bagaimana semetinya kehidupan berkeluarga. Apa pun alasannya, tetapi yang utama adalah karena suami isteri tersebut tidak dengan sungguh-sungguh mau belajar dan diajar oleh Firman Tuhan serta melakukannya dengan segenap hati mereka.

Memang tidak ada satu pun yang dapat dengan sempurna mampu melakukan peran masing-masing sebagaimana mustinya. Pasti ada kelemahannya. Jadi, menurut saya, akar perceraian bukan pada tidak melakukan peran sebagaimana mustinya, seperti banyak dibahas oleh para pakar pernikahan, tetapi lebih kepada ketidakrelaan untuk dengan rendah hati mau belajar dan mau berubah serta kerelaan bertekad menjalan peran sebagaimana amanat Firman Tuhan. Sikap ketidakrelaan ini dilatarbelakangi oleh keinginan yang tidak mau mengalah, alias gengsi terhadap sang pasangan, alias ..... angkuh!!!

(3) Eksploitasi Keingnan mata

Bagaimana dengan keinginan mata? Keinginan mata berkenaan dengan banyak hal. Tetapi yang utama adalah berkaitan dengan kemewahan hidup, dan kepemilikan harta. Marilah kita simak kembali sikap Hawa, ”Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati...” Kepada Tuhan Yesus, iblis memperlihatkan kerajaan dunia dengan kemegahannya. Intinya, iblis tahu persis tentang motivasi hidup manusia untuk hidup mewah.

Hubungan suami istri menjadi terancam bubar ketika motivasi hidup mewah menjadi lebih utama dari pada mempertahankan kesetiaan kepada sang pasangan. Kita telah dibombardir oleh pemberitaan media massa atas banyak kisah perceraian yang kemudian dilanjutkan dengan pernikahan salah satu dari pasangan yang bercerai tersebut menikah terhadap seorang yang lebih kaya dari pasangan sebelumnya. Biasanya untuk yang satu ini lebih merupakan masalah wanita, yang menginginkan suami yang kaya agar terpenuhi keinginan bergaya hidup hedonis.


Bolehkah Bercerai?

Orang Farisi mengajukan pertanyaan ini kepada Tuhan Yesus: ”Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Mat 19:3). Pertanyaan orang Farisi merupakan pertanyaan yang selalu menjadi perdebatan sepanjang jaman, sekalipun jawaban Tuhan Yesus sangat tegas:”... apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.” (Mat 19:6b, Mark 10:9). Bahkan kalau kita simak jawab Yesus sebelum ayat 6, mengindikasikan bahwa poligami pun sudah merupakan bentuk perceraian (ayat 4-6a).

Atas jawaban Tuhan Yesus ini, para ahli agama tersebut menjadi heran. Sampai-sampai mereka mengatakan, ”Kalau begitu lebih baik tidak kawin!.” Saya kira paradigma orang Kristen sepanjang jaman akan banyak yang sepikiran dengan para orang Farisi, yang nota bene para ahli agama tersebut. Karena itu, saya sangat paham jika inti artikel ini juga banyak yang menentang, karena menjurus pada kesimpulan ”tidak boleh cerai” dengan alasan paradigma yang sama.

Satu-satunya alasan yang dibolehkan Tuhan Yesus untuk bercerai adalah zinah (Mat 5:32): ”... Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” Di dalam Perjanjian Lama, seperti dalam Ul 22: 22, hukuman terhadap seorang yang berzinah adalah hukuman mati. Di dalam Perjanjian Baru juga ditegaskan bahwa orang yang berzinah tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1 Kor 2:9-10).

Stanley Heat berpendapat bahwa kata yang tepat terjemahan dalam Mat 5:32 bukanlah zinah, melainkan cabul, yang diterjemahkan dari kata ”Porneia”. Cabul merupakan kegiatan seksual yang semata-mata untuk pemenuhan hawa nafsu seks, termasuk di dalamnya homoseks, tanpa rasa cinta. Artinya, menurut Stanley Heat, jika hanya karena alasan zinah, maka tidak boleh bercerai. Hal ini sejalan dengan Firman Allah: ”Aku membenci perceraian”. Dengan kata lain, Firman Allah ini menegaskan, apa pun alasannya, pada dasarnya Tuhan tidak mentolerir perceraian! Sebab, orang cabul itu pastilah belum bertobat! Dan, orang yang kawin dengan tukang cabul dan ia tahu bahwa calon pasangannya adalah pencabul, maka pastilah orang itu belumlah bertobat!

Di dalam Perjanjian Lama memang ada dibolehkan Musa untuk bercerai. Tetapi, ketika hal ini dikonfrontir kepada Tuhan Yesus, maka jawaban Tuhan Yesus adalah, ”karena kedegilan hatimulah maka Musa membolehkan kamu bercerai”. Jadi, konsisten kehendak Tuhan atas pernikahan bahwa Tuhan membenci perceraian. Hagar yang sudah disuruh pergi dari rumah tuannya, oleh malaekat disuruh kembali kepada induk semangnya, Siti Sarai, sekalipun nanti di sana ia akan ditindas. Tuhan melarang perceaian Hagar dengan Abraham.

Mengapa Tuhan sangat membenci perceraian? Menurut Prof Stanley Heat, alasannya adalah untuk menjaga kejelasan keturunan umat Israel hingga lahirnya sang Mesias.

Dari sisi kehidupan keluaga, alasan utama dan yang terutama adalah karena perceraian akan menghancurkan kepribadian anak-anak. Jika mereka mengikuti sang ibu, maka mereka akan kehilangan figur ayah.  Padahal figur ayah merupakan personifikasi figur Tuhan Allah (yang kelihatan). Masih menurut Prof Stanley Heat, orang macam ini nantinya akan sangat sulit percaya kepada Tuhan sebagai Tuhan dan juruselamatnya, sebagai pelindungnya.

Jika mereka mengikuti sang ayah, maka mereka akan kehilangan kasih ibu. Akibatnya orang macam ini nantinya akan sulit percaya kepada orang lain (paranoid) dan sulit mengasihi sebagaimana mustinya, dan akar perilakunya didasarkan pada tidak nyaman dan over-curiga. Pendeknya, kepribadian mereka dan nilai-nilai spiritual mereka hancur, sekalipun secara visual mereka tampak normal. Padahal, nah ini dia: ”mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai pribadi yang bermasalah”. Kalau sudah begini, bagaimana tidak sedihnya hati Tuhan, sang pencipta, menyaksikan ciptaan paling mulia, manusia, yang dilahirkan menjadi pribadi dengan kepribadian yang babak belur???

Dalam hal ini pun Tuhan masih mentolerir perceraian (dalam arti, kita adalah kelompok orang yang hatinya degil, ya...okelah). Tapi, syaratnya adalah tidak boleh kawin lagi! Sebab orang yang kawin dengan orang yang cerai adalah zinah hukumnya.

Mengapa Harus Bercerai?

Pentingnya Inisiatif Allah dalam pernikahan, karena berkenaan dengan paradigma dalam mensikapi apa pun yang terjadi dalam keluarga tersebut nantinya. Jika Tuhan yang mempersatukan, maka Tuhanlah yang bertanggung jawab atas seluruh eksistensi keluarga tersebut. Jika, terjadi masalah ekonomi, maka Tuhanlah yang pasti mnyediakan.

Jika akan terjadi masalah perselingkuhan/perjinahan, maka Tuhanlah, oleh Roh Kudus-Nya, yang mengingatkan kita akan dosa, sehingga keluarga yang terbentuk tetap kudus. Apakah iblis bisa berkata-kata langsung kepada Anda dan saya, sama seperti ia berkata-kata secara langsung kepada Hawa? Jawabnya: ”ya”. Ia dapat berbisik ke telinda Anda. Ia juga dapat memanifestasi dirinya dalam mimpi. Pernahkah Anda bermimpi, pasangan Anda berselingkuh? Atau sebaliknya Anda pernah bermimpi bahwa pasangan Anda berselingkuh?

Di dalam terminologi psikologi dikenal istilah ”keinginan yang tak tertahankan” alias cenderung kebablas. Dalam psikoanalisis, keinginan tersebut lebih terfokus kepada keinginan seksual yang berlebihan. Hal ini dapat memicu terjadinya perzinahan. Dan, memang banyak pribadi yang memiliki masalah tentang yang satu ini. Bahkan, ada penelitian, salah satu indikasi orang yang nafsu seksnya sangat kuat adalah bentuk bahu yang menjorok ke depan (believe or not!).  Namun, apa pun alasannya, anak-anak Tuhan yang memiliki Roh Kudus sebagai jaminan, Ia-lah yang menyertai kita dan akan diam di dalam kita (Yoh 14:17). Ia mengingatkan kita tentang kebenaran (Yoh 14:26b), Ia memimpin kita dalam seluruh kebenaran (Yoh 16:13), dan Ia juga menginsyafi kita akan dosa (Yoh 16;8-9).; dan Ia mampu memulihkan kita karena Ia telah menanggung kelemahan kita; Ia telah melenyapkan kelemahan kita.

Terkait dengan pribadi yang bermasah, Roh Kudus juga memulihkan setiap pribadi. Kesembuhan ilahi tidak semata-mata dari sisi fisik, dan pertobatan tidak semata-mata dari sisi rohani; tetapi keduanya juga mencakup aspek psikis. Sayangnya, sejauh yang saya amati bimbingan konseling pranikah yang diadakan oleh gereja, justru sisi psikis ini tidak tersentuh. Padahal di sanalah bersemayam pengalaman kepahitan, pengalaman traumatis dan keinginan-keinginan berlebihan. Proses pemulihan tidak dibahas secara detail dalam artikel ini, karena dibutuhkan artikel tersendiri.

Jika terjadi masalah yang spesifik dalam sebuah keluarga, maka Tuhanlah yang mengaruniakan tabir rahasia kepada keduanya, atau kepada sang Imam (Kepala Keluarga) sehingga memiliki persepsi yang seturut dengan insight Tuhan atas masalah tersebut dan sekaligus diberikan solusi dalam mengatasinya. Ada jaminan dari Tuhan Yesus bahwa anak-anak Allah dikaruniai rahasia kebersatuan dalam ikatan pernikahan ini (Mat 19:11), sehingga kita tidak termasuk dalam kelompok yang berpendapat bahwa mempertahankan perkawinan itu luar biasa sulit (Mat. 19:10).

Jika Tuhan berfirman, apa yang telah dipersatuan oleh Tuhan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia, maka Tuhanlah, oleh jaminan Roh Kudus-Nya, yang melaksanakan firman itu di dalam kehidupan sebuah keluarga.

Jika Tuhan berfirman, ”aku membenci perceraian”, maka Tuhanlah, oleh Roh Kudus-Nya, memberikan solusi atas setiap persoalan hubungan suami istri yang sedang menghadapi cobaan. Tuhanlah yang memberikan kekuatan dan pencerahan, sehingga suami istri mengambil keputusan yang sejalan dengan kehendak Tuhan.

Jika Tuhan yang bertanggung jawab atas sebuah pernikahan baik dalam suka maupun dalam duka, mengapakah harus bercerai?

Kesimpulan

Anak-anak Tuhan tidak mungkin bercerai, karena Tuhan telah mengaruniakan Roh Kudus untuk memimpin setiap keluarga ke dalam kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah. Roh Kudus sendirilah yang memberikan kita kekuatan dan pencerahan untuk menggenapi kehendaknya di dalam hidup kita, ketika kita sedang menghadapi ”beruang ompong” yang menakut-nakutin kita? Bagian kita adalah memberi diri berserah penuh di dalam Dia, maka Ia akan bertindak.

Persoalannya,
Apakah ketika kita sedang menikmati angin sepoi-sepoi, dan
laut yang teduh, tenang .......
Atau,
Ketika kita sedang menghadapi badai bergelora
Seakan mau menghepaskan perahu mahligai rumah tangga kita
Seakan mau menenggelamkan keutuhan rumah tangga kita
Diiringi kilat menyekak, menggelegar dan sungguh mengerikan ....

Maukah kita hidup total berserah di dalam Dia, Tuhan dan Juruselamat kita?
Dan, kita yakin bahwa Ia pasti bertindak?
Sebab, according to your faith will it be done to you!!!


***



Riba, bolehkah? oleh F harefa





APA KATA ALKITAB TENTANG RIBA?
Oleh Fa’ahakhododo  Harefa



Apa Yang Dimaksud Dengan Riba?

Berdasarkan Imamat 25:36, yang dimaksud dengan riba adalah bunga uang.


Menurut Taurat dan Kitab Para Nabi, Bolehkah Membungakan Uang?

1.        Menurut Keluaran 22:25-27, bukan saja tidak boleh membebankan bunga kepada umat Tuhan, yang jatuh miskin, tetapi juga tidak boleh berlaku sebagai penagih utang. Ayat yang senada ditekankan juga dalm Ul.23:19,20.
.
22:25 Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya. 22:26 Jika engkau sampai mengambil jubah temanmu sebagai gadai, maka haruslah engkau mengembalikannya kepadanya sebelum matahari terbenam, 22:27 sebab hanya itu saja penutup tubuhnya, itulah pemalut kulitnya -- pakai apakah ia pergi tidur? Maka apabila ia berseru-seru kepada-Ku, Aku akan mendengarkannya, sebab Aku ini pengasih.

Di dalam Ulangan 23:19 "Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apa pun yang dapat dibungakan.

2.        Menurut Imamat 25:35-38 tidak boleh membungakan uang kepada orang miskin, atau memberikan makanan yang diribakan, atau lebih dari sekedar riba, tetapi juga termasuk memperbudak orang miskin itu sebagai kompensasi ia diberikan uang atau makanan atau barang kebutuhan pokok lainnya.

25:35 "Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. 25:36 Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu.25:37 Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba.
25:38 Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir, untuk memberikan kepadamu tanah Kanaan, supaya Aku menjadi Allahmu. 25:39 Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga menyerahkan dirinya kepadamu, maka janganlah memperbudak dia. 25:40 Sebagai orang upahan dan

3.       Mazmur 15:5 dan Amsal 28:8 harus ditafsirkan dalam konteks Imamat 25, yaitu membungakan uang kepada orang yang telah jatuh miskin.

15:1 Mazmur Daud. TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus? 15:2 Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya,15:3 yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat terhadap temannya dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya;
15:4 yang memandang hina orang yang tersingkir, tetapi memuliakan orang yang takut akan TUHAN; yang berpegang pada sumpah, walaupun rugi;15:5 yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah. Siapa yang berlaku demikian, tidak akan goyah selama-lamanya.

Amsal 28:8, Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, mengumpulkan itu untuk orang-orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang-orang lemah.

4.       Bahwa larangan membungakan uang ditegaskan dalam Yehez 22:12, karena memang terdapat motivasi pemerasan. Terdapat ketidakpedulian terhadap sesame, tidak peduli jika orang lain dirugikan.

22:6 Lihat, masing-masing pemimpin Israel mengandalkan kekuatannya di tengah-tengahmu untuk menumpahkan darah.22:7 Padamu ayah dan ibu dihina dan di tengah-tengahmu orang melakukan pemerasan terhadap orang asing, padamu anak yatim dan janda ditindas.22:8 Engkau memandang ringan terhadap hal-hal yang kudus bagi-Ku dan hari-hari Sabat-Ku kaunajiskan.
22:9 Padamu berkeliaran orang-orang pemfitnah dengan maksud mencurahkan darah dan orang makan daging persembahan di atas gunung-gunung; kemesuman dilakukan di tengah-tengahmu.
22:10 Padamu orang menyingkapkan aurat isteri ayahnya dan memperkosa perempuan pada waktu cemar kainnya yang menajiskannya.22:11 Yang satu melakukan kekejian dengan isteri sesamanya dan yang lain menajiskan menantunya perempuan dengan perbuatan mesum, orang lain lagi memperkosa saudaranya perempuan, anak kandung ayahnya.
22:12 Padamu orang menerima suap untuk mencurahkan darah, engkau memungut bunga uang atau mengambil riba dan merugikan sesamamu dengan pemerasan, tetapi Aku kaulupakan, demikianlah firman Tuhan ALLAH.
22:13 Sungguh, Aku bertepuk tangan mengenai keuntunganmu yang haram yang kaudapati dan mengenai darah yang dicurahkan di tengah-tengahmu.
5.       as

Apa Konsekwensi Bagi Orang Yang Membungakan Uang?

Amsal 28:8, “Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, mengumpulkan itu untuk orang-orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang-orang lemah.” Lagi-lagi ayat ini menekankan kepada orang-orang yang lemah, yang membutuhkan uluran belas-kasihan.


Menurut Taurat dan Kitab Para Nabi, Apakah Ada Kekecualian Dibolehkan Membungakan Uang?

Di dalam Ulangan 23: 20, ada kekecualian. Dimana kepada orang asing dibolehkan memungut bunga. “Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga -- supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."

Apakah Yang Sebetulnya Tidak Boleh Dalam Membungakan Uang?

Dalam konteks kitab Kel. 22:15, Imamat 25 dan Ulangan 23:19-20 berbicara tentang umat Allah yang jatuh miskin. Dimana, si peminjam merupakan orang yang sedang jatuh miskin, dalam artian ia tidak mampu memenuhi kebutuhan (pokoknya) sendiri. Jika Tuhan membolehkan membungakan uang kepada orang asing, maka tidak berarti Tuhan tidak mengasihi orang asing. Tetapi mengapa kepada orang asing boleh dibungakan uang? Karena itu, orang asing yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah bukan orang asing yang juga jatuh miskin. Sehingga ayat ini tidak menyangkali kodrat Tuhan Allah sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Memang, dalam Alkitab Perjanjian Lama, tidak ada referensi membungakan uang oleh umat Tuhan kepada umat Tuhan lainnya yang pada dasarnya sudah kaya. Pada jaman itu, tidak dikenal “ada orang kaya meminjam uang”. Larangan ditekankan kepada orang yang jatuh miskin.








Bagaimana Ajaran Tuhan Yesus tentang Membungakan Uang?

1.        Di dalam Mat 25;27-29 dan Lukas 19:23, berdasarkan ayat-ayat ini, Tuhan Yesus secara implisit tidak mengharamkan uang dibungakan. Sekalipun perikop ini sesungguhnya berbicara tentang talenta.

25:27 Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. 25:28 Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. 25:29 Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.

2.       Persetujuan implisit Tuhan Yesus terhadap membungakan uang ini menimbulkan kontroversi jika dibandingkan dengan Imamat 25, Mazmur 15, Ulangan 23 dan keluaran 22 sebagaimana telah dituangkan di atas, apabila kita memahami perintah larangan membungakan uang secara “hitam-putih”.

3.        Di atas telah ditemukan benang merah antara membunga uang versus sikap belas kasihan terhadap orang yang jatuh miskin. Tuhan Yesus mengajarkan di dalam Matius 5:40-41, prinsip Hak-hak Azasi Manusia, bukan sebagaimana diajarkan oleh Piagam PBB, atau hak-hak yang pada intinya mengarahkan kita untuk menuntut apa yang secara kodrat atau secara hokum menjadi milik kita. Sebaliknya, Tuhan Yesus mengajarkan tentang Hak-hak Azasi dimana apa yang justru menjadi hak kita, Tuhan katakana: “Kamu wajib memberikan kepada sesamamu, bahkan lebih dari apa yang ia minta”. Mat 5:40-42, “Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. 5:41 Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. 5:42 Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu”.

Yang menarik adalah pada ayat 42, dimana Tuhan tidak mengaitkannya dengan membungakan uang. Yang pasti Tuhan Yesus katakan: “kamu harus memberikan kepada orang yang meminta kepadamu, dan jangan menolak orang yang mau meminjam dari padamu”.

Jadi intinya adalah dalam segala hal perbuatan kita, termasuk dalam kaitan pinjam-meminjam, prinsip yang harus dilaksanakan adalah SIKAP BERBELAS-KASIHAN.



DAFTAR PUSTAKA

Alkitab.
Walter C Kaiser, Jr., Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama, Saat, 2003, p 80-83