MENIKAH
LALU BERCERAI, BOLEHKAH?
Oleh: Fa’ahakhododo Harefa
“Bolehkah orang
Kristen kawin dengan orang yang sudah resmi cerai?
Perceraian
sudah merupakan hal yang dianggap lajim dewasa ini, sehingga apabila hal itu
menimpa keluarga anak-anak Tuhan, dan bahkan keluarga pendeta sekalipun, sudah
tidak lagi mengejutkan. Seribu satu macam alasan pun dapat disebut sebagai
penyebab perceraian, seakan-akan memang sudah tidak ada lagi pilihan, kecuali
cerai! Hukum di negara tercinta ini yang mensyahkan perceraian memberikan legitimasi
kepada mereka yang cerai, sebagai perbuatan yang benar.
Bagaimana kehendak Tuhan Allah sendiri
tentang perceraian? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka terlebih dahulu kita
harus mengetahui tentang apa yang tertulis di Alkitab tentang pernikahan?
Inisiatif Tuhan Allah
Prinsip
pertama dalam pernikahan yang musti diamini oleh setiap orang Kristen adalah
bahwa pernikahan itu merupakan inisiatif Allah sendiri. Bukan inisiatif orang
tua yang menjodohkan anaknya, juga bukan pula inisiatif diri sendiri yang mau
menikah. Artinya, Allah yang menentukan dan menabiskan pernikahan menjadi
lembaga ilahi.
Inisiatif
Tuhan Allah tersebut dengan jelas tertulis: ”Tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya....” (Kej 2:18). Lalu Tuhan
Allah membuat manusia itu tertidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah
mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu dibangun-Nyalah
seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu (Kej 2:21-22).
Pertanyaannya,
bagaimana mengetahui bahwa kebersatuan dua sejoli yang sudah saling mencintai
dan bahkan sudah berjanji akan hidup semati sesungguhnya Tuhanlah yang
mempersatukan mereka? Di sinilah salah satu akar persoalan sebuah keluarga. Budaya atau adat istiadat tidak sepenuhnya
merujuk pada prinsip Firman Allah ini. Pada jaman dulu, kita kenal perjodohan.
Pada budaya tertentu, pernikahan lebih diutamakan pada tujuannya, yakni memiliki
anak laki-laki; bukan pada proses pembentukan keluarga itu sendiri. Pada jaman
ini dimana, kebebasan personal dilegitimasi sebagai hak azasi pribadi, sehingga
dalam menentukan calon pasangan hidup pun seakan-akan juga merupakan hak azasi
pula. Saking sebagai hak azasi, Tuhan
pun nga boleh ikut campur. Agama
boleh agama Kristen, tetapi nilai-nilai yang diyakini tentang seputar kehidupan
berkeluarga belum tentu senada dengan Firman Allah. Perhatikanlah syair berikut
ini.
Mulanya biasa saja. Lama-lama tertarik
juga
Aku suka kamu……………….
Awalnya figur yang kupandang biasa,eh…
lama-lama mempesona
Jantung pun tak tinggal diam, ketika
berdekatan: “deg-degan…”
Sentuhan, seakan terkena setrum,
”struuuuuuut!”
Untung tak dapat ditolak, bagaikan tamu
yang tak diundang
benih rindu berkecambah begitu saja,
bertumbuh dan makin membesar.
Langit pun terasa cerah, meski hujan deras, hari kelam.
Bulan serasa terus tersenyum tersungging,
walau nga punya mulut dan mata.
Kicauan burung seakan sebuah kidung, bersenandung
ria tentang asa.
Memandang
langit-langit, seakan kau terlukis di sana.
Itukah cinta?
Entahlah!
Sang pria pun
mulai sibuk berdoa, ” Tuhan, benarkah dia tulang rusukku?”
Tak kalah gencar
doa sang kekasih: ”Tuhan, diakah imamku?”
Mulanya biasa
saja, akhirnya jadi juga.
Dua sejoli dimabuk
asmara, berjanji setia, sehidup semati.
Sang pria pun
bersenandung: ”Aku hidup hanya untukmu”
Sang wanita
membalas: ”Aku pun hidup hanya untukmu”
”Aku tak dapat
hidup tanpa kau di sisiku”
Keduanya pun
menikah....
Kisah di atas merupakan hal yang lajim
dialami oleh yang lagi dimabuk asmara, bukan? Nah, pertanyaan yang prinsip adalah
jika prosesnya demikian, ”Apakah pernikahan dua sejoli tersebut merupakan
inisiatif Tuhan Allah?
Inilah yang susah dijawab. Jawabannya
dapat ”ya” dan bisa juga ”bukan”. Artikel singkat ini hanya mau mengatakan
bahwa begitu sulitnya mengetahui inisiatif Tuhan Allah yang terjadi dalam
proses orang Kristen menikah. Oleh sebab itu, tidaklah mengejutkan, jika
keluarga Kristen, bahkan keluarga pelayanan Tuhan (pendeta, penginjil, penatua
dan lain-lain), tidak ada ubahnya seperti keluarga yang belum percaya kepada
Tuhan Yesus, yang juga rawan terhadap perceraian.
Adakah contoh di dalam alkitab tentang
pernikahan yang bukan inisiatif Allah? ”Ada..!” Salah satu contoh yang sangat
baik adalah Abraham. Pernikahannya dengan Hagar, jelas bukan inisiatif Tuhan
Allah melainkan inisiatif Sarah yang kepengen
buanget memiliki keturunan. Tapi, apa yang terjadi di kemudian hari?
Alkitab mencatat: ”Perceraian!”. Hagar
diceraikan oleh Abraham, walaupun akhirnya rujuk kembali, tetapi keluarga Abraham
hidup dalam kepahitan dan dalam ketidakharmonisan.
Contoh lainnya adalah anak-anak
Elimelekh yang kawin dengan perempuan Moab. Padahal dalam Hukum Taurat dengan jelas
mengingatkan untuk tidak kawin-mengawinkan dengan orang-orang Kanaan, termasuk
orang Moab. Hasilnya? Selain Elimelekh, kedua anak laki-lakinya mati di Tanah
Moab. Naomi pulang dengan hampa tangan ke negara asalnya, Israel. Artinya, pernikahan
yang salah dapat menyebabkan kemiskinan.
Contoh lainnya yang tidak kalah menarik
adalah pernikahan Musa yang pertama dengan wanita Mesopotamia. Di tengah jalan
menuju Mesir dalam rangka memenuhi panggilan Tuhan, Musa hampir dibunuh oleh
Tuhan sendiri. Istri dan anaknya kemudian balik ke Mesopotamia, sementara Musa
melanjutkan perjalanan ke Mesir. Dalam kasus Musa, yang terjadi memang bukan
perceraian. Tetapi, bahwa Tuhan tidak berkenan sang isteri turut serta ke
Mesir, bertentangan dengan konsep pernikahan ”menjadi satu daging”. Gersom, anak
sulungnya Musa, tidak pernah dicatat dalam Alkitab sebagai salah seorang dari
imam.
Jika suatu pernikahan bukan merupakan
inisiatif Tuhan Allah, maka benih keperbedaan, keretakan dan ketidak-akuran
sudah tertanam. Suatu ketika, ketidak-akuran itu berbungakan kemarahan,
kebencian dan kepahatian; dan akhirnya bisa berbuahkan perceraian.
Bahkan, yang membuat saya lebih
terperangah adalah hasil kajian saya terhadap banyak pasangan, baik yang masih
pacaran maupun yang sudah menikah, dimana saya temukan hubungan signifikan
antara tipe kepribadian dengan daya tarik. Seseorang berkepribadian tertentu
cenderung hanya tertarik (terhadap lawan jenis) terhadap tipe kepribadian
tertentu pula.. Kalau sudah begini, apakah doa hanya merupakan permohonan
perestuan dari Sang Khalik? Ketemu dahulu baru berdoa, seperti kisah di puisi
di atas?
Mengapa Cerai?
Katakanlah telah menikah atas dasar
inisiatif Tuhan Allah. Apakah sudah cukup? Tentu tidak!.
Prinsip yang kedua yang harus diamini
oleh anak-anak Allah adalah mengamini Firman Allah, bahwa apa yang disatukan
oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Firman Allah ini tidak lagi
hanya tertulis di Alkitab, tetapi harus tertulis di dalam loh hati, sebagai
sebuah keyakinan. Sebab ada tertulis, bahwa apa yang kita imani, itulah yang
terjadi! According to your faith will it be done.
Jadi, kalau kita imani bahwa tidak ada
perceraian, maka tidak akan bercerai. Sedikit celah keraguan, sebaimana
pengalaman Hawa tentang buah pohon di tengah-tengah Taman Eden, sudah cukup
bagi iblis untuk mengacak-acak sebuah kehidupan keluarga Kristen.
Tanpa bermaksud mencari kambing hitam,
perceraian merupakan peristiwa yang diharapkan oleh iblis. Jika manusia cerai hubungannya dengan Tuhannya, maka
perceraian dengan sang pasangan bukan lagi hal yang tidak mungkin. Sebab, Sang
Pemersatu sudah disingkirkan dalam relasi hubungan suami isteri. Inilah
fenomena yang terjadi di Taman Eden, ketika manusia jatuh dalam dosa.
Perceraian tidak selalu dalam bentuk
fisik cerai, yang ditandai dengan legitimasi dari pemerintah. Begitu banyak
pasangan yang masih bersatu, dalam artian masih serumah dan secara sosial
dikategorikan sebagai pasangan suami isteri, tetapi sesungguhnya sudah ada
”perceraian” emosi antara keduanya. Ini pun sudah merupakan perceraian.
Sebagaimana Firman Tuhan ingatkan,
bahwa sang iblis selalu berusaha mencari kesempatan untuk menjatuhkan anak-anak
Tuhan. Sasaran utamanya bukanlah personal tetapi keluarga Kristen, terlebih
kepada keluarga Kristen yang hidup taat kepada Tuhan. Karena itu, apapun
alasannya bercerai, pada dasarnya hanya ada tiga jurus yang digunakan oleh
iblis dalam memperdayai suami atau istri sehingga mengikuti kemauannya. Ketiga
cara tersebut ialah:
(1) mengeksploitir
keinganan daging,
(2) mengeksploitir
keangkuhan hidup, dan
(3) mengeksploitir
keinginan mata
(1) Mengeksploitir keinginan Daging
Ia dapat menggunakan
salah satu cara, dua cara sekaligus atau tiga cara sekaligus. Pada kasus
pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun, iblis terlebih dahulu menggunakan cara
yang pertama, berkenaan dengan kebutuhan fisik (makan). Setelah cara tersebut
gagal, lalu ia mengggunakan cara yang kedua, eksploitasi keangkuhan hidup.
Iblis berkata, ”jatuhkanlah dirimu maka ada tertulis para malaekat akan menatang
Engkau”. Betapa hebatnya, Tuhan Yesus, apabila ia melakukan sebagaimana ajakan
iblis. Setiap orang yang melihat pasti kagum dan memberikan aplaus yang luar
biasa. Tuhan Yesus pasti digelari ”superman” dan dieluk-elukan.
Setelah dua cara
terdahulu gagal, iblis menggunakan cara ketiga, eksploitasi keinginan mata.
Berkatalah iblis: ” semua kerajaan dunia dan kemegahannya akan kuberikan
kepadamu....”.
Cara yang sama, dan
bahkan dengan urutan strategi yang sama pula, iblis menghancurkan hubungan
suami isteri: Adam dan Hawa. Pertama-tama, iblis bicara tentang hal makan
dengan trik komunikasi yang sering
digunakan oleh para salesman profesional dalam membujuk calon buyer mereka.
Kata iblis: ”Tentulah Allah berfirman:
Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?”
Reaksi Hawa sudah
dapat diduga, karena memang bukan demikianlah Firman Allah. Tetapi, bahwa trik iblis menghujani pikiran Hawa tentang
hal permakanan berhasil, maka Hawa telah masuk perangkap pertama.
Iblis pun
melanjutkan dengan perangkap kedua, eksploitasi keangkuhan hidup. Kata
kuncinya, iblis berkata: ”..., dan kamu
akan menjadi seperti Allah...”.
Perangkap ini pun berhasil, dan bahkan sedemikian berhasil, sehingga
cara ketiga pun, iblis tidak perlu membujuk Hawa untuk melakukannya. ”Hawa pun melihat buah pohon di tengah-tengah
taman Eden itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu
menarik hati karena memberi pengertian.”
Cara yang sama
pulalah sepanjang jaman iblis menghancurkan setiap keluarga, tak terkecuali
keluarga Kristen. Bahkan keluarga Kristen yang makin mendekatkan diri kepada
Tuhan, justru makin gencar dicobai oleh iblis. Sebab, ia tidak rela setiap
keluarga Kristen hidup berkenan kepada Allah. Karena itu, bukanlah hal yang
mengherankan, jika seseorang yang dinilai memiliki ”tingkat rohani” yang tinggi tetapi justru jatuh dalam dosa. Ada
contoh kisah yang baik tentang hal ini di dalam Alkitab, yakni Nuh. Kurang
hebat apakah perilaku Nuh hidup berkenan kepada Allah? Tuhan ngobrol langsung kapada Nuh untuk
memberitahu secara detail apa yang musti dilakukan Nuh; dan hanya Nuh dan
keluarganya yang diselamatkan!
Tetapi, apa yang
terjadi kemudian setelah peristiwa air bah? Nuh terpelosok dalam hal keinginan
daging. Dalam hal ini adalah dalam aspek seksualitas. Alkitab hanya mencapai
bahwa Nuh mabuk dan telanjang bulat. Kemarahannya kepada anak-anaknya,
khususnya Sem, menunjukkan perilaku Nuh yang lebih dari sekedar telanjang.
Jadi, dalam hal
keinginan daging, paling tidak ada dua aspek yang merupakan sasaran empuk iblis
untuk menjatuhkan, yakni permakanan dan perseksan.
Dari berbagai
pemberitaan mengukuhkan bahwa penyebab utama perceraian di Indonesia dewasa ini
adalah karena alasan ekonomi dan perselingkuhan. Sang suami dinilai oleh isteri
tidak mampu memberikan nafkah lahiriah, maka jadilah cerai. Dari sinilah saya
akhirnya yakin, bahwa kemiskinan itu bukan karya-Nya Tuhan Yesus, tetapi mau
iblis agar ia mudah menghancurkan keluarga Kristen. Keluarga Kristen yang benar
adalah pastilah keluarga sejahtera.
Alasan utama kedua
adalah karena perselingkuhan. Begitu banyak cerita tentang tokoh Alkitab yang terjerabab
masalah ini. Pertama, yakni Raja Daud yang berselingkuh dengan Betseba. Kedua,
Raja salomo sendiri yang memiliki 700 istri dan gundik. Ketiga, Ruben, anak
Yakub, yang berselingkuh dengan ibu tirinya. Semua berakhir dengan kisah sedih.
Salomo yang begitu luar biasa hikmatnya pun, pada hari tuanya ia lebih condong
hatinya kepada para isterinya dari pada hidup berkenan kepada Tuhan Allah, dan
akhirnya ia mabuk-mabukan. Kisah Nuh sendiri langsung berhenti, tidak ada lagi
karya Allah yang dinyatakan di dalam hidupnya setelah peristiwa ia telanjang. Kisah
tentang Nuh yang berikutnya adalah hanya mengisahkan kematiannya.
(2) Mengeksploitir Keangkuhan Hidup
Bagaimana dengan keangkuhan hidup? Dari banyak referensi menyebutkan bahwa
penyebab utama perceraian adalah karena masalah komunikasi atau komunikasi yang
buruk antara suami istri Neil Clark Warren, 1996:112; Collins, 1988:19; dan
Joseph Tan, 1997:58). Tetapi dari pengalaman saya melakukan psikotes dan
konseling terhadap ribuan orang, saya menemukan bahwa komunikasi yang
buruk merupakan buah dari kepribadian
yang buruk.
Dalam terminologi
pembagian tipe kepribadian menurut Socrates, dan belakangan dihidupkan kembali
teori tersebut oleh Littauer dalam bukunya Kepribadian
Plus, saya menemukan bahwa umumnya pribadi yang bermasalah adalah pribadi
yang condong sangat kuat pada salah tipe kepribadian, entah itu sanguinis, koleris,
melankolis atau plegmatis. Kelompok
orang macam ini secara visual terlihat normal, dan dari termonologi psikologi
memang normal. Ciri khas sifat tipe kepribadian macam ini adalah selfishme, mau
menang sendiri, tidak mau atau tidak mudah mengalah, sikap toleransi yang
rendah, dan umumnya memiliki pengalaman traumatis. Maksudnya traumatis adalah
ada pengalaman perlakuan buruk orang lain terhadap diri yang bersangkutan
sebelumnya yang terbawa dan tersimpan rapih dalam benak orang itu, dan kemudian
mempengaruhi perilaku. Antara lain dalam bentuk regresif, agresif, paranoid
(kecurigaan berlebihan), self defence
berlebihan atau sikap ingin dibelaskasihani berlebihan. Apa pun traits
dari kepribadian yang buruk ini akarnya adalah keangkuhan hidup. Tidak mau
mengalah atau mau menang sendiri merupakan fenomena perilaku yang umum yang
mencerminkan keangkuhan hidup. Jika dinasehati malah tersinggung.
Padahal tidak satu
pun manusia tanpa kelemahan. Tetapi oleh kerendahan hati sehingga ada kerelaan
mau diajar, mau dibentuk oleh Tuhan sekalipun dengan cara yang perih, maka kelemahan
pastilah dapat berubah menjadi sebuah kekuatan yang memuliakan nama Tuhan.
Yusuf di Mesir
menjadi berhasil karena paham betul rahasia hidup yang satu ini. Ia tidak
pernah membela diri. Ia tidak memberontak, ia tidak marah dan ia juga tidak
dendam. Ia tidak membangun ”tameng” diri untuk menutupi kelemahannya.
Belakangan, ia malah mensyukuri segala kepahitan yang ia alami sebagai cara
Tuhan menyiapkan dirinya menjadi orang besar. Tetapi, jangan ditanya kepahitan
yang pernah dialami oleh Yusuf di rumah Potifar. Saya yakin tidak ada satu pun
diantara pembaca artikel ini yang pernah dikejar-kejar dalam keadaan telanjang
dan sambil diteriakin, ”ia mau
memperkosa saya”. Bagaimana malunya Yusuf pada waktu itu.
Fenomena yang umum
dalam proses perceraian, dari segi dinamika relasi, adalah awalnya tidak ada
yang mau saling mengalah, sebaliknya maunya ngatur dan menuntut sang pasangan
berbuat sesuatu untuk dirinya dari pada ia mau rela berbuat (=melayani) untuk
sang pasangan. Maka terjadilah pertengkaran. Di dalam pertengkaran terseliplah
kata-kata saling merendahkan, saling mengungkit kejelekan /kelemahan, dan
kata-kata penghinaan. Rasa kepahitan di hati dan dendam pun bersemayam di hati.
Dari hari ke hari dendam alias amarah terpendam terus berkembang. Jika
faktor lain turut mendukung seperti masalah ekonomi, affair dengan orang lain dan lain-lain; maka masalah perceraian
tinggal hitungan waktu.
Melakukan Peran
Alkitab dengan tegas
membagi peran antara suami dan istri. Peran suami adalah sebagai kepala
keluarga, artinya suamilah yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan
seluruh anggota keluarga, baik kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani.
Sebaliknya istri berperan sebagai penolong.
Pembalikan peran
atau salah satu pihak tidak melakukan peran sebagaimana diamanatkan oleh Firman
Allah akan menjadi benih pertengkaran yang dapat berujung kepada perceraian. Banyak
alasan para pasangan tidak melakukan peran masing-masing sebagaimana mustinya,
tetapi justru orang yang kita cap bukan Kristen malahan melakukan prinsip
Firman Tuhan tentang bagaimana semetinya kehidupan berkeluarga. Apa pun
alasannya, tetapi yang utama adalah karena suami isteri tersebut tidak dengan
sungguh-sungguh mau belajar dan diajar oleh Firman Tuhan serta melakukannya
dengan segenap hati mereka.
Memang tidak ada
satu pun yang dapat dengan sempurna mampu melakukan peran masing-masing
sebagaimana mustinya. Pasti ada kelemahannya. Jadi, menurut saya, akar
perceraian bukan pada tidak melakukan peran sebagaimana mustinya, seperti
banyak dibahas oleh para pakar pernikahan, tetapi lebih kepada ketidakrelaan
untuk dengan rendah hati mau belajar dan mau berubah serta kerelaan bertekad
menjalan peran sebagaimana amanat Firman Tuhan. Sikap ketidakrelaan ini
dilatarbelakangi oleh keinginan yang tidak mau mengalah, alias gengsi terhadap sang pasangan, alias ..... angkuh!!!
(3) Eksploitasi Keingnan mata
Bagaimana dengan
keinginan mata? Keinginan mata berkenaan dengan banyak hal. Tetapi yang
utama adalah berkaitan dengan kemewahan hidup, dan kepemilikan harta. Marilah
kita simak kembali sikap Hawa, ”Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik
untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati...”
Kepada Tuhan Yesus, iblis memperlihatkan kerajaan dunia dengan kemegahannya.
Intinya, iblis tahu persis tentang motivasi hidup manusia untuk hidup mewah.
Hubungan suami istri
menjadi terancam bubar ketika motivasi hidup mewah menjadi lebih utama dari
pada mempertahankan kesetiaan kepada sang pasangan. Kita telah dibombardir oleh
pemberitaan media massa atas banyak kisah perceraian yang kemudian dilanjutkan
dengan pernikahan salah satu dari pasangan yang bercerai tersebut menikah
terhadap seorang yang lebih kaya dari pasangan sebelumnya. Biasanya untuk yang
satu ini lebih merupakan masalah wanita, yang menginginkan suami yang kaya agar
terpenuhi keinginan bergaya hidup hedonis.
Bolehkah Bercerai?
Orang Farisi mengajukan pertanyaan ini
kepada Tuhan Yesus: ”Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan
alasan apa saja?” (Mat 19:3). Pertanyaan orang Farisi merupakan pertanyaan yang
selalu menjadi perdebatan sepanjang jaman, sekalipun jawaban Tuhan Yesus sangat
tegas:”... apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.”
(Mat 19:6b, Mark 10:9). Bahkan kalau kita simak jawab Yesus sebelum ayat 6,
mengindikasikan bahwa poligami pun sudah merupakan bentuk perceraian (ayat
4-6a).
Atas jawaban Tuhan Yesus ini, para ahli
agama tersebut menjadi heran. Sampai-sampai mereka mengatakan, ”Kalau begitu lebih baik tidak kawin!.” Saya
kira paradigma orang Kristen sepanjang jaman akan banyak yang sepikiran dengan
para orang Farisi, yang nota bene
para ahli agama tersebut. Karena itu, saya sangat paham jika inti artikel ini
juga banyak yang menentang, karena menjurus pada kesimpulan ”tidak boleh cerai”
dengan alasan paradigma yang sama.
Satu-satunya alasan yang dibolehkan
Tuhan Yesus untuk bercerai adalah zinah (Mat 5:32): ”... Setiap orang yang
menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah;
dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” Di
dalam Perjanjian Lama, seperti dalam Ul 22: 22, hukuman terhadap seorang yang
berzinah adalah hukuman mati. Di dalam Perjanjian Baru juga ditegaskan bahwa
orang yang berzinah tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1 Kor
2:9-10).
Stanley Heat berpendapat bahwa kata
yang tepat terjemahan dalam Mat 5:32 bukanlah zinah, melainkan cabul, yang
diterjemahkan dari kata ”Porneia”. Cabul merupakan kegiatan seksual yang
semata-mata untuk pemenuhan hawa nafsu seks, termasuk di dalamnya homoseks,
tanpa rasa cinta. Artinya, menurut Stanley Heat, jika hanya karena alasan
zinah, maka tidak boleh bercerai. Hal ini sejalan dengan Firman Allah: ”Aku
membenci perceraian”. Dengan kata lain, Firman Allah ini menegaskan, apa pun
alasannya, pada dasarnya Tuhan tidak mentolerir perceraian! Sebab, orang cabul
itu pastilah belum bertobat! Dan, orang yang kawin dengan tukang cabul dan ia
tahu bahwa calon pasangannya adalah pencabul, maka pastilah orang itu belumlah
bertobat!
Di dalam Perjanjian Lama memang ada
dibolehkan Musa untuk bercerai. Tetapi, ketika hal ini dikonfrontir kepada
Tuhan Yesus, maka jawaban Tuhan Yesus adalah, ”karena kedegilan hatimulah maka Musa membolehkan kamu bercerai”.
Jadi, konsisten kehendak Tuhan atas pernikahan bahwa Tuhan membenci perceraian.
Hagar yang sudah disuruh pergi dari rumah tuannya, oleh malaekat disuruh
kembali kepada induk semangnya, Siti Sarai, sekalipun nanti di sana ia akan
ditindas. Tuhan melarang perceaian Hagar dengan Abraham.
Mengapa Tuhan sangat membenci
perceraian? Menurut Prof Stanley Heat, alasannya adalah untuk menjaga kejelasan
keturunan umat Israel hingga lahirnya sang Mesias.
Dari sisi kehidupan keluaga, alasan
utama dan yang terutama adalah karena perceraian akan menghancurkan kepribadian
anak-anak. Jika mereka mengikuti sang ibu, maka mereka akan kehilangan figur
ayah. Padahal figur ayah merupakan
personifikasi figur Tuhan Allah (yang kelihatan). Masih menurut Prof Stanley
Heat, orang macam ini nantinya akan sangat sulit percaya kepada Tuhan sebagai Tuhan
dan juruselamatnya, sebagai pelindungnya.
Jika mereka mengikuti sang ayah, maka
mereka akan kehilangan kasih ibu. Akibatnya orang macam ini nantinya akan sulit
percaya kepada orang lain (paranoid) dan sulit mengasihi sebagaimana mustinya,
dan akar perilakunya didasarkan pada tidak nyaman dan over-curiga. Pendeknya,
kepribadian mereka dan nilai-nilai spiritual mereka hancur, sekalipun secara
visual mereka tampak normal. Padahal, nah
ini dia: ”mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai pribadi yang
bermasalah”. Kalau sudah begini, bagaimana tidak sedihnya hati Tuhan, sang
pencipta, menyaksikan ciptaan paling mulia, manusia, yang dilahirkan menjadi
pribadi dengan kepribadian yang babak belur???
Dalam hal ini pun Tuhan masih
mentolerir perceraian (dalam arti, kita adalah kelompok orang yang hatinya
degil, ya...okelah). Tapi, syaratnya
adalah tidak boleh kawin lagi! Sebab orang yang kawin dengan orang yang cerai
adalah zinah hukumnya.
Mengapa Harus Bercerai?
Pentingnya Inisiatif Allah dalam
pernikahan, karena berkenaan dengan paradigma dalam mensikapi apa pun yang
terjadi dalam keluarga tersebut nantinya. Jika Tuhan yang mempersatukan, maka
Tuhanlah yang bertanggung jawab atas seluruh eksistensi keluarga tersebut.
Jika, terjadi masalah ekonomi, maka Tuhanlah yang pasti mnyediakan.
Jika akan terjadi masalah perselingkuhan/perjinahan,
maka Tuhanlah, oleh Roh Kudus-Nya, yang mengingatkan kita akan dosa, sehingga
keluarga yang terbentuk tetap kudus. Apakah iblis bisa berkata-kata langsung
kepada Anda dan saya, sama seperti ia berkata-kata secara langsung kepada Hawa?
Jawabnya: ”ya”. Ia dapat berbisik ke telinda Anda. Ia juga dapat memanifestasi
dirinya dalam mimpi. Pernahkah Anda bermimpi, pasangan Anda berselingkuh? Atau
sebaliknya Anda pernah bermimpi bahwa pasangan Anda berselingkuh?
Di dalam terminologi psikologi dikenal
istilah ”keinginan yang tak tertahankan” alias
cenderung kebablas. Dalam
psikoanalisis, keinginan tersebut lebih terfokus kepada keinginan seksual yang
berlebihan. Hal ini dapat memicu terjadinya perzinahan. Dan, memang banyak
pribadi yang memiliki masalah tentang yang satu ini. Bahkan, ada penelitian,
salah satu indikasi orang yang nafsu seksnya sangat kuat adalah bentuk bahu
yang menjorok ke depan (believe or not!). Namun, apa pun alasannya, anak-anak Tuhan
yang memiliki Roh Kudus sebagai jaminan, Ia-lah yang menyertai kita dan akan
diam di dalam kita (Yoh 14:17). Ia mengingatkan kita tentang kebenaran (Yoh
14:26b), Ia memimpin kita dalam seluruh kebenaran (Yoh 16:13), dan Ia juga
menginsyafi kita akan dosa (Yoh 16;8-9).; dan Ia mampu memulihkan kita karena
Ia telah menanggung kelemahan kita; Ia telah melenyapkan kelemahan kita.
Terkait dengan pribadi yang bermasah, Roh
Kudus juga memulihkan setiap pribadi. Kesembuhan ilahi tidak semata-mata dari
sisi fisik, dan pertobatan tidak semata-mata dari sisi rohani; tetapi keduanya
juga mencakup aspek psikis. Sayangnya, sejauh yang saya amati bimbingan
konseling pranikah yang diadakan oleh gereja, justru sisi psikis ini tidak
tersentuh. Padahal di sanalah bersemayam pengalaman kepahitan, pengalaman
traumatis dan keinginan-keinginan berlebihan. Proses pemulihan tidak dibahas
secara detail dalam artikel ini, karena dibutuhkan artikel tersendiri.
Jika terjadi masalah yang spesifik
dalam sebuah keluarga, maka Tuhanlah yang mengaruniakan tabir rahasia kepada
keduanya, atau kepada sang Imam (Kepala Keluarga) sehingga memiliki persepsi
yang seturut dengan insight Tuhan atas masalah tersebut dan sekaligus diberikan
solusi dalam mengatasinya. Ada jaminan dari Tuhan Yesus bahwa anak-anak Allah
dikaruniai rahasia kebersatuan dalam ikatan pernikahan ini (Mat 19:11),
sehingga kita tidak termasuk dalam kelompok yang berpendapat bahwa
mempertahankan perkawinan itu luar biasa sulit (Mat. 19:10).
Jika Tuhan berfirman, apa yang telah
dipersatuan oleh Tuhan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia, maka
Tuhanlah, oleh jaminan Roh Kudus-Nya, yang melaksanakan firman itu di dalam
kehidupan sebuah keluarga.
Jika Tuhan berfirman, ”aku membenci
perceraian”, maka Tuhanlah, oleh Roh Kudus-Nya, memberikan solusi atas setiap
persoalan hubungan suami istri yang sedang menghadapi cobaan. Tuhanlah yang
memberikan kekuatan dan pencerahan, sehingga suami istri mengambil keputusan
yang sejalan dengan kehendak Tuhan.
Jika Tuhan yang bertanggung jawab atas
sebuah pernikahan baik dalam suka maupun dalam duka, mengapakah harus bercerai?
Kesimpulan
Anak-anak Tuhan tidak mungkin bercerai,
karena Tuhan telah mengaruniakan Roh Kudus untuk memimpin setiap keluarga ke
dalam kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah. Roh Kudus sendirilah yang
memberikan kita kekuatan dan pencerahan untuk menggenapi kehendaknya di dalam
hidup kita, ketika kita sedang menghadapi ”beruang ompong” yang menakut-nakutin
kita? Bagian kita adalah memberi diri berserah penuh di dalam Dia, maka Ia akan
bertindak.
Persoalannya,
Apakah ketika kita sedang menikmati
angin sepoi-sepoi, dan
laut yang teduh, tenang .......
Atau,
Ketika kita sedang menghadapi badai
bergelora
Seakan mau menghepaskan perahu mahligai
rumah tangga kita
Seakan mau menenggelamkan keutuhan
rumah tangga kita
Diiringi kilat menyekak, menggelegar
dan sungguh mengerikan ....
Maukah kita hidup total berserah di
dalam Dia, Tuhan dan Juruselamat kita?
Dan, kita yakin bahwa Ia pasti
bertindak?
Sebab,
according to your faith will it be done to you!!!
***